Mukadimah

By | 25 Oktober 2018

Mukadimah/Pendahuluan

Mempelajari isi al-Quran akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatnya prespektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan ke-unik-an isinya yang menunjukkan Maha Besar Allah Pengasih Penyayang, sebagai penciptanya. Berbagai usaha telah dilakukan orang dalam menganalisa isi al-Quran itu, dan ternyata makin banyak kita menganalisa dan membahasnya, makin diketahui berapa kecilnya kemampuan orang apabila dibandingkan dengan kebesaran Allah swt.

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”.

Apabila meneliti cara pendekatan al-Quran, kita akan dapatkan dua cara :*).

1. pendekatan yang tidak didahului pertanyaan.
Ayat yang diturunkan, berisikan perintah langsung dan larangan kepada Kaum Mu`minin. Pendekatan inilah yang paling banyak ditempuh, dengan menggunakan kata-kata:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا (Wahai orang-orang yang beriman),
sehingga orang yang merasa dipanggil atau diseru dengan julukan itu akan bersiap-siap mendengarkan seruan itu, serta tergerak hatinya untuk melaksanakan petunjuk yang diberikan Allah kepadanya.
Contoh-contoh ayat seperti ini antara lain:

… يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تُبۡطِلُوۡا صَدَقٰتِكُمۡ بِالۡمَنِّ وَالۡاَذٰىۙ كَالَّذِىۡ يُنۡفِقُ مَالَهٗ رِئَآءَ النَّاسِ

Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kalian batalkan (pahala) shadaqahmu dengan jalan menyebut-nyebut dan menyakitkan (penerima shadaqah), sama halnya dengan orang- orang yang membelanjakan hartanya dengan ria terhadap sesamanya … (Q. S. 2 : al-Baqarah: 264)

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ ‏ ﴿۱۸۳

Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan kepada kalian shaum, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang terdahulu daripada kalian, supaya kalian bertaqwa. (Q.S. 2 : al-Baqarah : 183)

Di samping seruan langsung atau larangan kepada Kaum Mukminin, ada pula seruan yang ditujukan kepada Nabi saw. yang dimaksudnya tertuju pula kepada semuanya.
Seruan seperti ini antara lain:

يٰۤاَيُّهَا النَّبِىُّ اِذَا طَلَّقۡتُمُ النِّسَآءَ

Wahai Nabi. Sekiranya engkau menceraikan wanita…………………………. (Q.S. 65 at-Thalaq: 1)

Ada pula pendekatan tanpa menyebutkan sebutan atau seruan yang khusus, tapi langsung menerangkan hukum, perintah atau larangan, misalnya:

وَلَا تَجۡعَلُوا اللّٰهَ عُرۡضَةً لِّاَيۡمَانِکُمۡ اَنۡ تَبَرُّوۡا

Dan janganlah kalian jadikan nama Allah (dalam sumpah kalian) sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan…………………… (Q.S. 2 : al-Baqarah: 224)

Pendekatan yang tidak didahului pertanyaan ini, baik yang dimulai dengan seruan langsung, seruan kepada Nabi saw. ataupun yang tidak menggunakan kata seruan, terutama berkenaan dengan pemberitahuan syariat, untuk dipatuhi dan dilaksanakan, atau berupa larangan yang harus dijauhi.

2. Pendekatan sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Nabi saw.
a. Pertanyaan Kaum Muslimin/Mukminin yang ditujukan kepada Nabi saw. berkenaan dengan hal-hal yang belum ada ketetapannya dari Allah swt. atau sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap suatu ketetapan yang masih diperlukan penjelasan.*)

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat ……………… (Q.S. al-Baqarah: 189)

Pertanyaan lain berkenaan dengan keajaiban alam yang dijawab Allah swt. dalam al-Qur-an, seperti:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji ………………………. (Q.S. 2 al-Baqarah: 189)

Jawaban yang dikemukakan didalam al-Quran, dihubungkan dengan urgensinya serta kepentingan hidup dengan umatNya sepanjang masa, baik berkenaan dengan ibadah ataupun pergaulan hidup, perdagangan ataupun kebudayaan serta kehidupan sehari-hari.

Disamping pertanyaan seperti diatas, terdapat pula bentuk permohonan fatwa kepada Rasulullah saw. Didalam al-Quran disebutkn bahwa fatwa yang diminta itu antara lain berkenaan dengan kehidupan keluarga, perkawinan dan masalah waris. (Lihat Q.S. 4 an-Nisa: 127, 176).

b. Disamping pertanyaan atau permohonan fatwa yang diajukan oleh Kaum Muslimin, terdapat pula pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang ingkar kepada da`wah Rasulullah saw. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kebanyakan terdapat dalam ayat-ayat Makiyah yang isinya mengenai pokok-pokok agama. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya mengandung unsur perlawanan dan penentangan, antara lain:

1) Masalah qiamat, tercantum dalam Q.S. 7 al-`Araf: 187, al-Ahzab: 63 dan seluruhnya surat an-Naziat.
2) Masalah ruh, tercantum dalam Q.S. 17 al-Isra: 85.
3) Masalah kejadian masa lampau, tercantum dalam Q.S. 18 al-Kahfi: 83.

Dengan gambaran tersebut diatas, jelaslah bahwa ayat-ayat al-Quran diturunkan dengan latar belakang dan peristiwa yang berbeda-beda. Allah berfirman didalam al-Qur`an:

Berkatakalah orang-orang yang kafir: “Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah, supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkannya dan) membacakannya kelompok demi kelompok. (Q.S. 25 al-Furqan: 32)

Untuk lebih memahami al-Quran, perlu diketahui latar belakang turunnya atau sering juga disebut asbab nuzulnya. Dengan mengetahui asbab nuzul ayat-ayat al-Qur`an, kita akan lebih memahami arti dan ma`na ayat-ayat itu dan akan hilanglah keraguan dalam menafsirkannya.

Betapa banyak ulama yang menganggap penting pengetahuan Asbab nuzul ayat itu, dan berbagai usaha telah mereka lakukan untuk meneliti dan mengumpulkan bahannya. Mereka ini antara lain: Imam al-Wahidi, Ibnu Daqiequl `Ied dan Ibnu Taimiyah.

Imam al-Wahidi berpendapat bahwa untuk mengetahui tafsir suatu ayat al-Quran , tidak mungkin tanpa mengetahui latar belakang peristiwanya dan kejadian turunnya. Ibnu Daqiequl `Ied berpendapat bahwa keterangan tentang kejadian turunnya ayat merupakan jalan yang kuat untuk memahami ma`na al-Quran. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengetahui asbab nuzul ayat, menolong kita memahami ma`na ayat, karena mengetahui kejadian turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui penyebabnya.

Pernah terjadi dalam sejarah, para ulama “salaf” mengalami kesulitan dalam menafsirkan beberapa ayat al-Quran. Setelah mereka dapatkan asbab nuzulnya, hilanglah kebingungan mereka.

Imam al-Wahidi berpendapat bahwa pembicaraan mengenai “Asbabun Nuzul Quran”, tidak dibenarkan tanpa mengetahui riwayatnya atau mendengar langsing dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, serta mengetahui sebab-sebabnya dan mendalami ilmunya.

Dalam tarikh dikemukakan bahwa Muhammad bin Sirrin pernah bertanya kepada Ubaidah tentang ma`na suatu ayat di dalam al-Quran. Ubaidah menjawab: “Bertaqwalah kepada Allah, serta akuilah dengan jujur bahwa orang yang mengetahui kapan diturunkannya ayat-ayat itu, telah berpulang”. Oleh karena itu, untuk mengungkap kembali kejadian tersebut, perlu ditelusuri dengan mendalam riwayat diturunkannya ayat tersebut, berdasarkan Hadits-hadits Nabi saw.

Menurut al-Hakim dalam Kitab “Ulumul Hadits”, apabila seorang yang menyaksikan wahyu dan turunnya ayat-ayat al-Quran berkata bahwa ayat ini turun tentang anu, dapatlah disimpulkan bahwa Hadits itu “musnad”. Orang yang sependirian dengannya ialah Ibnus Shalah.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kadang-kadang suatu riwayat menuturkan maksud suatu ayat, yang justru dalam ayat itu sendiri telah jelas maksudnya. Hadits seperti ini menerangkan ayat tersebut, dan tidak mengenai asbab nuzulnya.

Kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat antara para ulama tentang ucapan shahaby, apakah termasuk asbab nuzul atau tafsir. Al-Bukhari memasukkannya ke dalam musnad (seperti istilah musnad, kecuali apabila di belakangnya menyebutkan sebab turunnya ayat.

Az-Zarkasyi menyebutkan di dalam kitab-nya al-Burhan: “Dari adat para shahabat dan tabi`in dapat diketahui, apabila salah seorang berkata: “Turunnya ayat ini di dalam perkara ini”, maka yang di maksudkan dengan kata-kata itu, ialah bahwa ayat tersebut berisikan hukum-hukum tentang sesuatu, dan bukan sebagai asbab nuzulnya”.

Imam Suyuthi berpendirian bahwa asbab nuzul suatu ayat, bukanlah sekedar menceritakan suatu ayat itu turun berkenaan dengan kejadian tertentu (seperti riwayat al-Wahidi tentang surat Alfiel). Riwayat yang dikemukakan oleh al-Wahidi itu sekedar memberitahu kejadian yang lalu, sebagaimana tarikh Nabi Nuh, Kaum `Ad, Kaum Tsamud, tarikh didirikannya Baitullah, dan sebagainya.

Dengan gambaran diatas, betapa sulitnya menyusun Kitab Asbabun Nuzul yang dianggap paling lengkap. Buku ini barulah usaha pertama guna membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut. Sebagai usaha pertama, kami susun buku ini dengan jalan menyadur Kitab: Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, yang oleh Jalaluddin as-Suyuthi, dan terdapat dalam Tafsir Quranil Azhiem (Imam Jalalain).

Sebagaimana kita maklumi bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi berpegang pada kitab yang paling masyhur berkenaan dengan Asbabun Nuzul, yang ditulis oleh al-Wahidi. Beliau sendiri (as-Suyuthi) memberikan tambahan beberapa riwayat lainnya dengan diberi tanda K di depan riwayat tambahan itu. Di samping itu kami berikan tambahan dan penjelasan lain dengan membubuhkan sumber pengambilannya dengan footnote.

Tambahan dari Imam Jalaluddin as-Suyuthi didasarkan pada kitab yang mu`tamad dan mu`tabar, seperti al-Kutubus Sittah, al-Mustadrak, Shahih Ibnu Hibban, Sunan al-Baihaqy, Addaruquthni, Musnad Ibnu Hambal, al-Bazzar, Abu Ya`la, Ma`azjim at-Thabarani, Tafsir Ibnu Jarier, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abusy-Syeikh, Ibnu Hayyan, al-Farabi, Abdurrazzaq, Ibnu Mundzir dan lain-lainnya. Adapun tambahan/penjelasan dari kami, kami ambil dari buku-buku tyang kami cantumkan dalam daftar bacaan pada akhir buku ini.

Dalam buku ini sering kita dapatkan beberapa istilah yang berhubungan dengan ilmu Hadits. Istilah-istilah yang kami anggap penting, kami jelaskan sesingkat mungkin dalam footnote, disertai glossary pada akhir buku ini yang dilengkapi pula dengan index nama.

Mungkin akan diperoleh beberapa riwayat tentang turunnya suatu ayat, yang kadang-kadang berbeda-beda. Dalam keadaan seperti itu, mungkin salah satunya bukanlah sebab turunnya ayat, akan tetapi sebagai penjelasan lebih lanjut berkenaan dengan ayat itu. Untuk menetapkan pendapat mana yang paling kuat, haruslah di lihat isnadnya dan keadaan rawinya: apakah si rawi hadlir waktu kejadian itu, apakah ia termasuk ulama ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas`ud.

Untuk terjamah ayat-ayat al-Quran, kami ambil dari al-Quran dan terjemahnya, disusun oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Quran, Departemen Agama RI Jakarta.

Kami telah berusaha mencari asbab nuzul tiap ayat, dan pada tahap pertama ini kami belum dapat memenuhi harapan tersebut. Mudah-mudahan harapan tersebut dapat terpenuhi di masa mendatang.

Susunan ayat dalam Asbabun Nuzul ini tidak kronologis berdasarkan sejarah turunnya, akan tetapi tersusun sesuai dengan sistematika al-Quran yang ada dewasa ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *