Asbabun Nuzul Surah Al Baqarah Ayat 113, 114, dan 115
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ لَيْسَتِ النَّصٰرٰى عَلٰى شَيْءٍۖ وَّقَالَتِ النَّصٰرٰى لَيْسَتِ الْيَهُوْدُ عَلٰى شَيْءٍۙ وَّهُمْ يَتْلُوْنَ الْكِتٰبَۗ كَذٰلِكَ قَالَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ ۚ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ﴿۱۱۳
Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari Kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan. (S. 2 : 113)
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika orang-orang nashara Najran menghadap kepada Rasulullah saw., datanglah padri-padri yahudi. Mereka bertengkar dihadapan Rasulullah saw. berkatalah Rafi’ bin Khuzaimah (yahudi) : “Kamu tidak berada pada jalan yang benar, karena menyatakan kekufuran kepada Nabi Isa dan kitab Injilnya”. Seorang dari kaum nashara Najran membantahnya dengan mengatakan : “Kamu pun tidak berada di atas jalan yang benar, karena, menentang kenabian Musa dan kufur kepada Taurat”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut diatas (S. 2 : 113), sebagai jawaban atas pertengkaran mereka.
*Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas.
وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰهِ اَنْ يُّذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهٗ وَسَعٰى فِيْ خَرَابِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ مَا كَانَ لَهُمْ اَنْ يَّدْخُلُوْهَآ اِلَّا خَاۤىِٕفِيْنَ ەۗ لَهُمْ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ وَّلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
﴿۱۱۴
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat. (S. 2 : 114) sehubungan dengan larangan kaum Quraisy kepada Nabi saw. untuk shalat dekat Ka’bah didalam Masjidil-haram.Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Menurut riwayat lain, turunnya ayat ini (S. 2 : 114) tentang kaum Musyrikin yang menghalangi Rasulullah dan para sahabatnya datang ke Mekah untuk mengerjakan ‘umrah pada hari Hudaibiah[6]. Ayat ini (S. 2 : 114) turun sebagai peringatan kepada orang yang melarang beribadah di Masjid Allah.
*Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Zaid.
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ﴿۱۱۵
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah, sesungguhnya Allah Maha Luas Lagi Maha Mengetahui”. (S. 2 : 115)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat ini (S. 2 : 115) kemudian menjelaskan peristiwanya sebagai berikut : Ketika Rasulullah saw. dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah shalat sunnat diatas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraannya.
*Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i yang bersumber dari Ibnu Umar.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya faainama tuwall’u. . . . . .sampai dengan akhir ayat (S. 2 : 115) membolehkan kita shalat sunnat diatas kendaraan menghadap sesuai dengan arah tujuan kendaraan.
*Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu ‘Umar, Hadist ini shahih menurut syarat Muslim, terutama isnadnya.[7]
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, diperintah oleh Allah swt. untuk menghadap ke Baitil Maqdis diwaktu shalat. Maka gembiralah kaum yahudi. Rasulullah saw. melaksanakan perintah itu beberapa belas bulan lamanya, tetapi dalam hatinya tetap ingin menghadap ke qiblatnya Nabi Ibrahim as.(Mekah), beliau selalu berdo’a kepada Allah sambil menghadap muka ke langit ; menantikan turunnya wahyu. Maka turunlah ayat “Qad nara taqalluba wajhika fis-sama-i sampai akhir ayat”. (S. 2 : 114). Kaum yahudi menjadi bimbang karena turunnya ayat itu (S. 2 : 114), sehingga mereka berkata : “Apa yang menyebabkan mereka membelok dari qiblat yang mereka hadapi selama ini?”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut diatas (S. 2 : 115), sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang yahudi.
*Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari ‘Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas. Isnadnya kuat, dan artinya pun membantu menguatkannya, sehingga dapat dijadikan dasar turunnya ayat tersebut.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa pada suatu malam gelap gulita, dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah saw. mereka (para perawi Hadist) tidak mengetahui arah qiblat. Mereka shalat kearah hasil ijtihad masing-masing. Keesokan harinya mereka kemukakan hal itu pada Rasulullah saw. Maka turunlah ayat tersebut diatas. (S. 2 : 115).
*Hadist ini dla’if, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Daraquthni dari Asy’ats as-Samman dari ‘Ashim bin Abdillah, dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah yang bersumber dari bapaknya. Menurut Tirmidzi, riwayat ini gharib[8], dan Asy’ats di dla’ifkan didalam meriwayatkan Hadist ini.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah saw. mengutus pasukan perang (termasuk diantaranya Jabir). Pada suatu waktu yang gelap gulita, mereka tidak mengetahui arah qiblat. Berkatalah segolongan dari mereka : “Kami tahu arah qiblat, yaitu arah ini (sambil menunjuk kearah Utara)”. Mereka shalat dan membuat garis sesuai dengan arah mereka shalat tadi. Segolongan lainnya berkata: “Qiblat itu, ini (sambil menunjuk ke arah Selatan)”. Mereka shalat dan membuat garis sesuai dengan arah shalat mereka. Keesokan harinya setelah matahari terbit garis-garisan itu tidak menunjukkan arah qiblat yang sebenarnya. Sesampainya ke Madinah, bertanyalah mereka kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Beliau terdiam. Maka turunlah ayat tersebut diatas (S. 2 : 115) sebagai penjelasan atas peristiwa tersebut.
*Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan Ibnu Marduwaih dari al-‘Arzami, dari ‘Atha’, yang bersumber dari Jabir.
Menurut riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah saw. mengirimkan suatu pasukan perang. Mereka diliputi kabut yang tebal, sehingga tidak mengetahui arah qiblat. Kemudian mereka shalat. Ternyata setelah terbit matahari, shalatnya tidak menghadap qiblat. Setibanya kepada Rasulullah saw. mereka ceritakan hal itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut diatas (S. 2 : 115) yang membenarkan ijtihad mereka.
*K. Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang menerima dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Saudaramu, raja Najasyi, telah wafat[9]. Shalatlah untuknya”. Para sahabat bertanya: “Apakah kita boleh sholat untuk bukan Muslim?”. Maka turunlah ayat 199 surah Ali ‘Imran[10]. Para sahabat berkata lagi : “Sebenarnya Raja Najasyi itu tidak shalat menghadap qiblat”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2 : 115) yang menjelaskan bahwa Raja Najasyi telah menunaikan ibadatnya berdasarkan ketentuan pada waktu itu.
*Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah. Riwayat ini sangat gharib, mursal[11] atau mu’dlal[12].
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika turun ayat : “Ud’uni astajib lakum” (S. 40 : 60)[13] para sahabat betanya : “Kemana kami menghadap?”. Maka turunlah “Faainnama tuwallu fatsamma wajhullah” (S. 2 : 115) sebagai jawaban terhadap pertanyaan mereka.
*K. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid.
6. Tahun 628 Masehi.
7. Sebagian ulama menganggap bahwa riwayat tersebut cukup kuat, walaupun menyebutkan sebab turunnya itu tidak jelas, yaitu dengan kata-kata “Turunnya ayat tersebut dalam masalah anu”. Kedudukan kalimat seperti ini kadang-kadang dianggap sebagai sebab turunnya ayat.
8. Hadits dikatakan gharib apabila diriwayatkan oleh seorang kepada seorang lainnya, dan seterusnya dengan satu sanad. (Bulughul Maram I, c.v. Diponegoro Bandung 1972 hal. 18).
9. Dalam tarikh disebutkan bahwa Raja Najasyi wafat setelah masuk Islam. (Tafsir Thabari juz IV tahun 1954 halaman 219).
10. Ayat tersebut ialah: Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu ….. sampai akhir ayat.
11. Hadist dikatakan Mursal apabila rawinya tidak menerima melalui sahabat. (Bulughul Maram I, c.v. Diponegoro Bandung 1972 hal. 14).
12. Hadits dikatakan Mu’dlal apabila rawinya (yang meriwayatkan hadits itu) ditengah sanadnya terputus karena gugur 2 orang rawi yang berdekatan. (Bulughul Maram I, c.v. Diponegoro Bandung 1972 hal. 15).
13. Artinya: Berdoalah kamu kepada-Ku, pasti Aku akan mengabulkan permintaanmu itu (S. 40:60)